Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : JIM-FH UNIMAL

PRESIDENTIAL THRESHOLD TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN Putri Lina Wahyuni; Elidar Sari; Mukhlis M
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 1, No 1 (2018): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v1i1.2542

Abstract

The holding of elections simultaneously raises implications for the mechanism of general elections the President and Vice-President, especially in terms of the implementation of the presidential threshold. After the decision of the Constitutional Court (MK) number 14/PUUXI/2013, which mandates the simultaneous elections raises the pros and cons about setting the presidential threshold. In the perspective of the Constitution, using or not using the presidential threshold indeed does not conflict with the Constitution, because the presidential threshold is the policy of the law that are open from forming laws. The purpose of this paper is to study the presidential threshold in conjunction with a Simultaneous Election in 2019. The method of approach in this research is normative juridical with examines the problems that arise in terms of the law. The presidential threshold has been twice used in the election, the results show evidence that the presidential threshold is very positive become a tool of initial selection of candidates for President and Vice-President. The use of the presidential threshold in the elections in Indonesia was initially set in the 1945 Constitution (UUD 1945) stated in article 6A, and then further regulated in Legislation Number 23/2003 about General Election of President and Vice-President, then amended by Lagislation Number 42/2008 on General Election of President and Vice-President are next rearranged in Lagislation Number 7/2017 about General Elections. In the implementation of the presidential threshold is not necessarily only a positive impact, but there are also negative impacts such as the presence of new parties that have passed verification and are expressed as participants of the election by the Election Commission (KPU) in 2019 it does not have political rights in candidates for President and Vice-President, and the presence of Indonesian citizens who feel maimed political rights for which he choose in the 2014 election not necessarily be the choice in the elections 2019 or the candidate would they choose is canceled forward because the rules of the presidentila threshold. With keep the enactment of the rule threshold in the 2019 elections expected legislators to rethink about the terms of the presidential threshold, especially in conjunction with simultaneous elections, taking into account the advantages and disadvantages in the application or removal of the presidential threshold, for the purpose to strengthen the presidential system in Indonesia. Keywords :The Presidential Threshold, the verdict of the Constitutional Court, Simultaneous Elections
KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XVII/2019) Rido Susanto; Elidar Sari; Malahayati M
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 5, No 3 (2022): Oktober
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v5i3.8655

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia sebelum dan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XVII/2019dan untuk mengetahui mengetahui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XVII/2019). Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut yaitu menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian yuridis normatif berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XVII/2019, Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsidengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, norma-norma hukum atau kaidah-kaidah. Tata caraaglutinasi data dan analisis data yang digunakan dalam penelitian yang lewatriset kepustakaan (library research) dan diolah secara kualitatif sehingga hasilnya akan disajikan secara deskriptif analisis dan dapat dipahami pembaca dengan mudah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pada revisi kedua Undang-Undang KPK menyatakan bahwa kedudukan KPK itu sendiri berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif. Namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU/XVII/2019 menyebutkan bahwa kedudukan KPK berada di dalam rumpun eksekutif dalam melaksanakan tugas bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. (2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi penyadapan yang telah selesai dilaksanakan harus diberitahukan kepada Dewan Penggawas serta dalam hal penyidikan, penyidik yang melakukan penggeledahan dan penyitaan dapat memberitahukan kepada Dewan Penggawas. Hal ini sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Penggawas sesuai dengan Pasal 37B Undang-Undang No 19 Tahun 2019 yakni memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Fungsi Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe Dalam Memberikan Pertimbangan Terhadap Kebijakan Daerah Berdasarkan Syari’At Islam Burhanuddin Burhanuddin; Elidar Sari; Yusrizal Yusrizal
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Vol 6, No 2 (2023): April 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jimfh.v6i2.8001

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana fungsi dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lhokseumawe dalam memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah berdasarkan Syari’at Islam. Untuk menjawab persoalan tersebut perlu digunakan metode penelitian normatif berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan (library research) yang didukung oleh data empiris kemudian diolah secara kualitatif sehingga hasilnya akan disajikan secara deskriptif dan mudah dipahami oleh pembaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi dan kewenangan MPU Kota Lhokseumawe dalam memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah berdasarkan Syari’at Islam tidak berjalan dengan efektif dikarenakan peraturan hanya mengharuskan MPU memberikan pertimbangan, kritikan atau saran akan tetapi tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Maka dari hal itu, setiap pertimbangan yang disampaikan tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengindahkannya. Penerimaan dan penolakan dari setiap pertimbangan yang disampaikan oleh MPU adalah tanggung jawab moral pemerintah yang mesti diperhatikkan.Kata Kunci : Fungsi, Kewenangan, Ulama, Kebijakan Daerah